(ADELIA
RANADITA – DETIK HEALTH)
Keinginan
orang untuk memperbaiki penampilan semakin meningkat, terutama untuk memutihkan
wajah dan memperbaiki kerusakan kulit akibat penuaan. Namun hal tersebut,
seringkali membuat banyak orang kurang mempertimbangkan krim wajah yang
digunakan.
“Masyarakat
saat ini tampaknya masih belum begitu paham akan resiko penggunaan kosmetik
sehingga masih saja muncul kasus-kasus kelainan kulit karena penggunaan
kosmetik yang salah dan berlebihan,” kata Dr. Fajar Waskito, Sp. K.K(K), staf
pengajar Fakultas Kedokteran (FK) UGM dalam seminar kesehatan yang bertajuk
Pengencangan Kulit dan Terapi Laser untuk Masalah Kulit Menua di University
Club UGM seperti ditulis Senin 5/3/2012).
Dengan
kata lain, sebagian besar masyarakat menggunakan kosmetikk tidak diimbangi
dengan pengetahuan yang memadai akan resiko kosmetika yang digunakan. Kulit
yang cantik sebenarnya adalah kulit yang sehat. Oleh karena itu, untuk
mempercantik kulit memang sebaiknya dengan jalan menjaga kesehatan kulit terlebih
dahulu.
Kulit
yang sehat adalah kulit yang mempunyai fungsi yang normal, serta tanpa kelainan
dan penyakit. Secara klinis, kulit sehat akan tampak tidak pucat bersinar,
cerah, halus bila diraba, kencang, lembab, serta bersih.
“Pada
kasus yang ditemui di Yogyakarta, 40% kejadian efek samping penyakit kulit
dikarenakan pemakaian produk kosmetik yang bermasalah semisal mengandung
Hidroquinon lebih dari 2%. Selain itu, kelainan kulit juga terjadi akibat
penggunaan kosmetik yang tidak sesuai dengan jenis kulit pengguna sehingga
timbul reaksi elergi. Kejadian yang paling banyak adalah ingin mencerahkan
wajah tapi hasilnya malah menjadi hitam karena pemakaian kosmetik yang tidak
tepat, kebablasan serta penggunaan yang tak sesuai dengan aturan, “Kata Dr.
Fajar.
Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) juga
berkali-kali menerima pengaduan konsumen akibat penggunaan produk pemutih
kulit. Ada salah satu konsumen mengalami belang-belang pada wajah, seperti panu
dengan warna kemerahan dan iritasi di sana sini, gara-gara pemakaian krim
pemutih. Ini mengindikasikan terjadinya kerusakan pigmen. Dalam kondisi berat,
atau jika kerusakan sudah berlangsung permanen, dokter takkan bisa
memulihkannya kembali.
Kaum perempuan biasanya mengenal bedak, pelembab,
pembersih wajah, dan sejenisnya sebagai produk kosmetik. Lalu, bagaimana dengan
pemutih kulit?
Suatu produk digolongkan sebagai kosmetik bila
zat-zat yang terkandung di dalamnya berasal dari bahan alami atau kimia dalam
jumlah maksimum telah ditentukan, yang — menurut UU Kesehatan — memiliki fungsi
untuk merawat dan memperindah penampilan, bukan untuk terapi seperti obat.
Selain itu, kosmetik juga tidak boleh mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh dan
hanya boleh bekerja di lapisan epidermis kulit.
Namun, berdasarkan survei label yang pernah
dilakukan YPKKI terhadap 27 produk pemutih kulit dan antikerut yang beredar di
pasaran, ternyata kebanyakan dari produk tersebut masuk ke dalam kategori obat.
Padahal, obat, harus digunakan berdasarkan resep
dokter. Pelanggaran lain pun terkuak. Fakta menunjukkan, sebagian besar produk
pemutih sudah melanggar aturan dalam UU Kesehatan, UU Konsumen, dan Peraturan
Pemerintah tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Misalnya,
tidak memiliki nomor registrasi (tidak terdaftar) di Departeman Kesehatan,
tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa, tidak mencantumkan informasi dalam
bahasa Indonesia, dan lain-lain.
Kenapa harus terdaftar? Kosmetik selalu mengandung
beberapa bahan kimia, namun konsentrasi bahan ini harus memiliki batasan. Bahan
seperti hidroquinon yang bekerja mengelupas kulit bagian luar dan menghambat
pembentukan pigmen kulit melanin, hanya diperbolehkan sebanyak 2%. Lebih dari
ketentuan ini, produk dapat menimbulkan iritasi kulit dan merusak melanin.
Padahal, melanin berfungsi melindungi kulit dari reaksi radiasi sinar matahari.
Dengan kata lain, semakin banyak melanin pada kulit,
maka kulit akan semakin terlindungi. Karena itulah, penggunaan kosmetik dengan
kadar hidroquinon lebih dari 2% harus di bawah pengawasan dokter. Dan, produk
seperti ini tergolong obat.
Bahan AHA (alpha hydroxide acid) juga dibatasi,
hanya boleh 10% pada kandungan bahan kosmetik. Lebih dari itu, produk termasuk
golongan obat. Sementara bahan-bahan seperti asam retinoat, rhodamin, dan
merkuri (Hg) sama sekali tidak boleh terdapat dalam produk.
Asam retinoat bekerja mengelupas kulit dan dapat
membuat kulit terasa seperti terbakar. Rhodamin yang berfungsi memberikan
warna, juga berbahaya pada kulit karena senyawa kimia ini sesungguhnya adalah
pewarna tekstil yang terkadang dipakai juga sebagai pewarna makanan. Bila
dikonsumsi, ia bisa menimbulkan kanker.
Bahan merkuri yang tergolong sebagai logam berat
berbahaya, juga dapat memicu timbulnya kanker kulit. Bahan kimia ini bersifat
mengendap dalam kulit.
Benar, khasiat pemutih pada awalnya memang
menggiurkan. Hanya dalam hitungan minggu, kulit mengalami perubahan, seperti
menjadi lebih kenyal, mulus, kerutan hilang, dan tampak lebih putih. Tapi,
begitu pemakaian dihentikan, kulit akan kembali ke kondisi semula. Bahkan,
kadang-kadang kondisinya malah lebih parah. Kulit jadi tampak lebih hitam,
berwarna merah, atau muncul flek-flek.
Kenapa harus putih?
Dalam mengawasi produk-produk kosmetik yang
menjanjikan kulit lebih putih, sebaiknya memang ada peran aktif dari
masyarakat. Diharapkan, kaum wanita lebih selektif, kritis, dan teliti dalam
memilih produk kosmetik, termasuk bahan pemutih. Pelajari pula efek samping
produk. Jika pada pemakaian pertama kulit wajah langsung kemerahan, terjadi
iritasi disertai gatal-gatal, sebaiknya pemakaian langsung dihentikan, meskipun
produk itu berharga cukup mahal.
Selain itu, untuk mengeliminasi efek samping dan
bahaya bahan pemutih, sebaiknya pilihlah produk terdaftar. Artinya, produk
tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan terbukti aman digunakan karena sudah
melalui serangkaian tes laboratorium.
Sebagai informasi, jika produk tersebut sudah
terdaftar di Badan POM, maka kodenya adalah “CD” untuk kosmetik dalam negeri
dan “CL” untuk kosmetik luar.
Jangan mudah percaya pada klaim produk yang
berlebihan dan janji iklan yang berefek instan. Misalnya, promosi menjanjikan
sabun pembersih muka yang bisa memutihkan wajah dalam tiga minggu. Jelas, ini
tak bisa dipercaya, karena ketahanan sabun atau pembersih muka paling lama
hanya dua menit, padahal agar efektif, produk sebaiknya dipakai semalaman.
Perhatikan juga tanggal kedaluwarsa produk pemutih
atau bahan kosmetik lainnya, karena setiap benda yang dijual selalu memiliki
masa edar, apalagi obat yang ada unsur kimianya. Dalam hal ini, konsumen perlu
waspada karena produk kedaluwarsa mudah terkontaminasi jamur atau bakteri,
sehingga bisa berbalik jadi racun.
Karena setiap orang memiliki sensitivitas kulit yang
berbeda, maka jika terjadi efek samping atau hal-hal di luar dugaan, segeralah
berkonsultasi ke dokter.
Akhirnya, sebelum mati-matian memutihkan kulit,
sebaiknya perempuan juga berpikir lebih jauh, apakah kita memang benar-benar
harus berkulit putih? Sesungguhnya, pemakaian kosmetik perawatan yang “hanya”
berefek menyegarkan, melembabkan dan menghaluskan kulit saja sudah cukup.
Karena, pemutihan kulit berarti “memaksa” terjadinya perubahan struktur melanin
pada kulit, dan menyebabkannya lebih rentan terhadap serangan sinar matahari
dibanding warna sawo matang. Risikonya lainnya, potensi terkena kanker kulit
akan lebih besar.***
Beberapa waktu lalu, kantor berita Reuters dan AFP
memberitakan, banyak perempuan di Nairobi, Afrika, menderita kerusakan kulit
akibat pemakaian krem pemutih. Ternyata, mereka memakai krem pemutih yang
mengandung hidrokuinon dan merkuri dalam konsentrasi tinggi.
Akibatnya, bukan kulit warna putih yang mereka
dapatkan, tetapi kulit yang rusak terbakar. Kulit mereka menjadi lebih hitam
dari sebelumnya.
Belajar dari pengalaman mereka, sebelum menggunakan
krim pemutih kulit, sebaiknya konsumen mengetahui inti perawatan kulit dan
meneliti kandungan krim yang akan dipakai.
Pada dasarnya tujuan perawatan kulit adalah
mendapatkan kulit yang segar, sehat, dan halus. Kulit yang demikian membuat
penampilan seseorang tampak bersih, tidak kusam. Perawatan membuat penampilan
kulit lebih sehat, bukan menjadikan kulit berwarna putih.
Krim pemutih yang dikemas produsen dalam sabun,
losion tubuh, pelembab, dan sebagainya hanya berfungsi merawat dan memperindah
penampilan. Krim pemutih yang dijual bebas tak bisa berfungsi sebagai terapi
seperti obat karena obat hanya bisa digunakan berdasarkan resep dokter.
Hidroquinon
adalah agen pemutih kulit yang digunakan untuk meringankan daerah kulit yang
gelap seperti bintik-bintik, Kloasma yang juga dikenal sebagai melasma,
bintik-bintik usia dan bekas jerawat.
Hidroquinon
tersedia sebagai krim 2% untuk aplikasi topikal. Sedangkan penggunaan
Hidroquinon lebih dari 2% dapat menimbulkan berbagai efek samping seperti
kemerahan, kekeringan, bagkan timbul reaksi elergi.
“Walau hanya dioleskan dan tidak diminum, merkuri
bisa meresap ke dalam pembuluh darah. Bila terakumulasi dalam ginjal, dapat
mengakibatkan kerusakan fungsi ginjal,” tutur Lili yang juga pengajar pada
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Namun, yang menjadi masalah, hanya sebagian pemutih
yang mencantumkan bahan dasar dan komposisi dalam produknya. Mungkin mereka
takut jika mereka mencantumkan bahan baku dan komposisi tersebut, konsumen
tidak akan memakai produknya.
“Sering kali pasien yang datang ke dokter karena
kondisinya sudah parah. Dokter kesulitan untuk mencari tahu penyebabnya karena
produk yang mereka pakai tidak mencantumkan bahan baku dan komposisi,” ujar
Lili.
Untuk
mencegah meningkatnya kejadian efek samping penyakit kulit akibat pemakaian
produk kosmetik, maka sebaiknya perlu meningkatkan pengetahuan masyarakat
mengenal perawatan kulit yang benar dan tidak beresiko. (Source : Detik Health)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar